Kegiatan Penguatan Kampung Sadar Kerukunan di Desa Ngadiwono: Kolaborasi Universitas dan Praktisi Sukses Perkuat Harmoni Sosial
Ngadiwono, Tosari – Desa Ngadiwono kembali menegaskan posisinya sebagai model desa yang mempraktikkan harmoni sosial berbasis kearifan lokal melalui kegiatan pengabdian masyarakat bertema “Penguatan Kampung Sadar Kerukunan”. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari, Rabu-Kamis, 4-5 Desember 2024, ini digagas oleh Universitas Yudharta Pasuruan (UYP), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Pasuruan, dan Universitas Katholik Indonesia Santu Paulus Ruteng NTT.
Bertempat di Aula Balai Desa Ngadiwono, kegiatan ini melibatkan berbagai unsur akademik dan praktisi, termasuk mahasiswa Universitas Yudharta Pasuruan, mahasiswa Universitas Katholik Santu Paulus Ruteng NTT, perangkat Desa Ngadiwono, tokoh adat, tokoh agama, Pecalang, Banser, Relawan Peduli Kota-Kristen (Replika), hingga perwakilan pemerintah Kecamatan Tosari.
Rangkaian Hari Pertama: Sambutan dan Materi Inspiratif
Kegiatan dimulai dengan sambutan oleh Kepala Desa Ngadiwono, Atim Priyono, yang memaparkan potret Desa Ngadiwono sebagai komunitas yang kaya akan nilai-nilai adat dan toleransi. “Desa kami menjadi cerminan harmoni, di mana perbedaan keyakinan justru menjadi kekuatan untuk bersama-sama membangun desa,” ujar Atim.
Dilanjutkan oleh Ketua FKUB Kabupaten Pasuruan, H. Saiful Anam, yang menekankan pentingnya menjaga kesadaran kerukunan berbasis kearifan lokal. Menurutnya, tradisi seperti musyawarah desa, gotong royong, dan kerja lintas agama menjadi kunci keberhasilan Ngadiwono sebagai desa yang toleran.
Materi utama disampaikan oleh dua narasumber yang ahli di bidangnya. Wiwin Fachrudin Yusuf dari Pusat Religius Pluralistik Universitas Yudharta Pasuruan membahas penguatan kerukunan berbasis adat dan budaya lokal. "Budaya seperti Selametan Desa atau kegiatan kerja bakti lintas komunitas adalah warisan yang harus terus dijaga untuk mendukung harmoni sosial," jelasnya.
Dr. Fransiska dari Universitas Katholik Santu Paulus Ruteng NTT melanjutkan dengan membahas pentingnya melestarikan strategi menjaga adat dan budaya asli Ngadiwono. “Kearifan lokal adalah pilar utama yang mampu menyatukan keberagaman dalam masyarakat. Ini harus dijadikan strategi kolektif untuk menjaga persatuan,” katanya.
Hari Kedua: Sharing Session dan Diskusi Best Practice
Hari kedua difokuskan pada sesi interaktif yang melibatkan tokoh adat dan pemerintah Kecamatan Tosari. Dalam sharing session, mereka berbagi pengalaman nyata tentang bagaimana nilai adat dan dialog lintas komunitas telah membantu menyelesaikan berbagai tantangan sosial di desa.
Dilanjutkan dengan Focus Group Discussion (FGD), dua narasumber utama, Dr. Achmad Yusuf, M.Pd, dan Dr. M. Anang Sholikhudin, M.Pd.I dari Universitas Yudharta Pasuruan, bersama Hendrikus Midun dari Universitas Katholik Santu Paulus Ruteng, memimpin diskusi mendalam tentang Best Practice Model Penguatan Kerukunan Berbasis Kearifan Lokal. Diskusi ini berhasil merumuskan panduan praktis yang mengintegrasikan nilai-nilai lokal dengan pendekatan modern untuk diterapkan di desa lain.
Pesan dan Harapan
Dalam penutup acara, Dr. Achmad Yusuf menyampaikan harapan besar agar Desa Ngadiwono tidak hanya menjadi contoh, tetapi juga inspirasi bagi desa-desa lain. “Kerukunan tidak terjadi dengan sendirinya; ia lahir dari kesadaran bersama dan kerja keras lintas komunitas. Model yang kita rumuskan di sini adalah bukti bahwa harmoni bisa dicapai melalui sinergi budaya, adat, dan pendidikan,” jelasnya.
Sementara itu, Hendrikus Midun menambahkan, “Desa seperti Ngadiwono membuktikan bahwa keberagaman adalah anugerah, bukan penghalang. Dengan melibatkan masyarakat lokal, kita tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih inklusif.”
Inspirasi dari Ngadiwono
Kegiatan ini tidak hanya memperkuat kerukunan di Desa Ngadiwono tetapi juga membuka peluang untuk mereplikasi praktik terbaik ini di wilayah lain. Dengan kolaborasi antara akademisi, praktisi, dan masyarakat, Desa Ngadiwono sekali lagi membuktikan bahwa kearifan lokal adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang damai, toleran, dan saling menghargai.
Hasil dari kegiatan ini akan didokumentasikan dalam bentuk panduan praktis, artikel ilmiah, dan rekomendasi kebijakan untuk penguatan kerukunan berbasis kearifan lokal. Desa Ngadiwono kini tak hanya menjadi simbol kerukunan, tetapi juga pusat inspirasi bagi Indonesia yang lebih harmonis.